Sebagai satu-satunya negara adidaya yang memiliki pengaruh di seluruh belahan bumi, pemilihan presiden Amerika Serikat—manusia paling berkuasa di dunia—selalu menarik perhatian masyarakat internasional, tidak terkecuali di Indonesia. Majunya kandidat presiden berkulit hitam, Barack Obama, sebagai calon kuat dari Partai Demokrat semakin menyedot perhatian.
Selain latar belakangnya yang tidak konvensional, Obama menjanjikan perubahan kebijakan yang cukup mendasar dari pemerintahan George W Bush yang sangat tidak populer akibat kebijakannya menyerang dan menduduki Irak. Menyadari bahwa kebijakan unilateralisme Bush telah menyebabkan citra dan posisi Washington terpuruk di mata komunitas internasional, Obama berjanji untuk kembali menjadikan AS sebagai warga dunia yang baik, yang mengedepankan pendekatan multilateral dan kerja sama internasional.
Janji Obama ini tampaknya cukup mampu meraih simpati internasional yang telah gerah dengan sikap Bush yang dinilai terlalu arogan menonjolkan kedigdayaan kekuatan militer AS. Berbagai jajak pendapat menunjukkan sebagian besar masyarakat dunia mengharapkan Obama memenangi pemilihan presiden AS, tidak terkecuali di Indonesia.
Pengalaman Obama yang pernah tinggal di Indonesia selama beberapa tahun sewaktu ia masih kecil semakin menambah rasa simpati dan kedekatan masyarakat Indonesia terhadap calon presiden dari Partai Demokrat ini. Masyarakat Indonesia, dan warga Muslim dunia pada umumnya, percaya bahwa di bawah kepemimpinan Obama yang lebih mengedepankan dialog daripada konfrontasi, hubungan dunia Islam dan Barat yang belakangan cenderung memburuk karena kebijakan Bush dengan perang melawan terornya akan membaik kembali.
Dapat dipastikan bahwa banyak pihak akan kecewa, termasuk di Indonesia, seandainya John McCain, calon presiden dari Partai Republik, yang tampil sebagai pemenang dalam pemilihan presiden nanti. Selain hanya dilihat sebagai penerus Presiden George W Bush, figur McCain juga kurang dikenal di Indonesia. McCain tidak akan mengubah citra internasional Washington yang mulai pudar.
Dengan mengedepankan penggunaan hard power-nya dalam 5 tahun terakhir, Washington kehilangan sebagian dari soft power-nya untuk menjadi pemimpin dunia yang dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat internasional. Sama dengan Bush, McCain cenderung melihat dunia dari perspektif realist kawan dan lawan—ia akan mengisolasi negara yang dianggap lawan serta berupaya menggalang kekuatan negara-negara yang dianggap kawan untuk mengimbangi kekuatan pesaing.
Sebaliknya, Obama cenderung lebih idealist karena ia mendorong agar Washington bermitra dengan negara-negara lain dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional serta ingin mengubah ”lawan” menjadi ”kawan”. Apakah akan ada dampak khusus terhadap Indonesia apabila Obama atau McCain memerintah AS?
Meskipun pendekatan internasional kedua calon presiden cukup berbeda, yang akan melahirkan kebijakan luar negeri yang berbeda pula, misalnya dalam hubungan AS dengan Iran, kebijakan Washington terhadap Asia Tenggara umumnya dan Indonesia khususnya diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan.
Asia Tenggara tidak menempati prioritas yang tinggi dalam kebijakan luar negeri AS yang banyak tersita oleh berbagai konflik di Timur Tengah, khususnya Irak, munculnya kembali kekuatan Taliban di Afganistan, sementara di Asia Timur perhatian AS lebih banyak tertuju pada masalah keamanan di Semenanjung Korea. Sejak berakhirnya Perang Vietnam, Asia Tenggara relatif damai dengan kebijakan ekonomi yang berorientasi ke Barat sehingga tidak perlu mendapatkan perhatian khusus Washington.
Namun, ada beberapa hal yang patut dicatat dalam hubungan Indonesia-AS. Secara umum, sejak tahun 1970-an, kebijakan AS lebih menguntungkan Indonesia manakala presiden yang menempati Gedung Putih berasal dari Partai Republik. Hal ini berkaitan dengan basis dukungan masing-masing partai.
Partai Republik umumnya didukung oleh perusahaan-perusahaan besar yang beroperasi atau ingin mendapatkan peluang bisnis di luar negeri sehingga mereka biasanya mengedepankan hubungan baik dengan pemerintahan asing, terlepas dari sistem politik yang dianut. Partai Republik juga menaruh perhatian yang lebih besar terhadap isu keamanan internasional, terutama yang berkaitan dengan masalah pertahanan. Sebaliknya, Partai Demokrat banyak didukung oleh serikat buruh, para aktivis hak asasi manusia dan lingkungan. Mereka cenderung mengaitkan isu-isu ini dalam pelaksanaan kebijakan kuar negeri AS dan lebih proteksionis dalam masalah perdagangan.
Tidaklah mengherankan kalau pemerintahan Orde Baru didukung oleh pemerintahan dari Partai Republik (Nixon, Ford, Reagan, Bush I) serta mendapat banyak tekanan dan sanksi dari pemerintahan Partai Demokrat (Carter, Clinton). Terlepas dari alasan embargo pemerintahan Clinton terhadap militer Indonesia yang dituduh melanggar HAM di Timor Timur, tidak dapat dimungkiri bahwa embargo tersebut telah melemahkan kemampuan pertahanan Indonesia secara keseluruhan. Normalisasi hubungan militer Indonesia-AS dipulihkan kembali oleh pemerintahan Bush. Di samping pencabutan embargo militer, Pemerintah AS di bawah Bush juga bertindak cepat membantu rehabilitasi korban tsunami di Aceh dan memberikan bantuan pembangunan lainnya.
Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga terbesar yang merupakan kekuatan utama di ASEAN, bagaimanapun juga Indonesia memiliki nilai strategis tersendiri, baik dalam konteks masalah Islam-Barat maupun dalam menghadapi kebangkitan China. Siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS diperkirakan tidak akan mengabaikan Indonesia. Baik McCain maupun Obama sama-sama memiliki pengalaman di Asia Tenggara, meskipun dalam konteks yang berbeda. Dewasa ini tidak ada isu-isu bilateral besar yang mengganjal hubungan Indonesia-AS. Masalah utama sekarang berada pada tataran persepsi masyarakat Indonesia yang negatif terhadap pemerintahan Bush sehingga cukup membatasi ruang gerak Pemerintah Indonesia untuk menerima bantuan atau menggalang kerja sama yang terlalu dekat dengan Pemerintah AS.
Di dalam politik, termasuk politik luar negeri, persepsi tidak jarang lebih penting dari realitas. Presiden Clinton cukup populer di Indonesia, meskipun banyak kebijakannya yang menyulitkan Indonesia. Sebaliknya, Presiden Bush sangat dibenci oleh sebagian masyarakat Indonesia, terlepas berbagai kebijakannya yang selama ini cukup menguntungkan Indonesia.
Apabila Obama terpilih menjadi presiden AS, diperkirakan akan lahir suatu babak baru dalam hubungan bilateral Indonesia-AS, yaitu berkurangnya kecurigaan dan adanya dukungan publik Indonesia yang luas terhadap Washington yang memungkinkan pemerintahan kedua negara untuk menjalin kerja sama yang lebih erat.
Hal ini diperkirakan tidak akan terjadi apabila McCain yang menjadi pemimpin AS ke depan, yang bagaimanapun juga hanya dilihat sebagai lanjutan dari Bush. Namun, masyarakat Indonesia harap bersiap menghadapi kemungkinan semakin meningkatnya pembatasan perdagangan dan semakin sulitnya ekspor Indonesia memasuki pasar AS apabila Obama tampil sebagai pemenang, apalagi di tengah krisis ekonomi yang melanda AS dewasa ini.
Dewi Fortuna Anwar Profesor Riset Bidang Intermestik, Puslit Politik LIPI