DON’T VOTE STAY MUSLIM

DON’T VOTE STAY MUSLIM

Apa hukumnya orang-orang yang terlibat dalam pemilihan umum dan yang memberikan suara ?

Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa dan semoga keselamatan dan Rahmat-Nya senantiasa terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga dan para sahabat, serta seluruh pengikutnya.

Agar dapat menjawab pertanyaan yang sangat penting tentang berpartisipasi di dalam pemilu dan memberikan suara untuk para calon legislatif, baik DPR maupun DPRD, Kita harus mengetahui realitas atau hakikat fakta, karena kaidah syara’ menyatakan bahwa bagian paling penting untuk menilai suatu persoalan adalah memahami persoalan tersebut atau mengetahui hakikat faktanya.

Dalam hal ini kita harus mengetahui realitas atau hakikat fakta dari dua hal, yaitu;

1. Badan legislatif (DPR atau DPRD) yang mana beberapa calon ingin berpartisipasi di dalamnya dan,

2. Pemilihan dimana orang-orang terlibat di dalamnya yaitu dengan memberikan suara (nyoblos).

Kita harus ingat bahwa bagian dari ke-Imanan dan percaya kepada Allah SWT adalah At-Tauhid yang berarti mematuhi, mengikuti, menyembah dan meng-agungkan Allah SWT semata, tanpa menyekutukan Dzat-Nya atau gelar-Nya dengan sesuatu yang lain, dan sebaliknya menyekutukan Dzat-Nya dan gelar-Nya dengan segala sesuatu yang lain adalah perbuatan syirik, yang menyebabkan seseorang keluar dari Islam, dan itulah mengapa At-Tauhid sebagai dasar dari rukun Islam. Salah satu dari gelar-gelar-Nya adalah Ia adalah Maha Pembuat Hukum (Al-Hakim) dan Maha Memerintah (Al-Mudabbir) dan Dia mempunyai hak kekuasaan yang mutlak untuk memerintah dan membuat hukum, yang tak satupun dapat menggantikan kekuasaan mutlak-Nya ini. Allah SWT berfirman:

”Keputusan itu hanyalah Kepunyaan Allah” (QS 12 : 40)

Dan Allah juga berfirman :

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasulnya maka sungguhlah dia akan sesat, sesat yang nyata” (QS 33 : 36)

Setelah menentukan dua fakta di atas marilah kita meneliti realitas atau hakikat fakta dari Dewan legislatif.

Para pakar hukum menyebutkan bahwa Badan Legislatif adalah lembaga untuk mengesahkan hukum, sedangkan orang yang bergabung di dalamnya disebut anggota dewan, yaitu para wakil dan utusan rakyat yang telah dipilih oleh rakyat (baik pusat maupun daerah).

Tidak ada perbedaan diantara mereka, baik yang ada di Negara-negara Timur atau Barat bahwa fungsi utama dari dewan legislatif (parlemen) adalah untuk membuat hukum (Undang-undang). Oleh karena itu, kita dapat menyebutkan beberapa tugas utama dari Badan Legislatif (DPR/DPRD) adalah : Membuat dan mengesahkan Undang-undang (UU)

Adapun sumber-sumber pembuatan UU di DPR/DPRD adalah :

1. Pikiran dan keinginan-keinginan dari para wakil rakyat dan menteri sebagai wakil rakyat.
2. Lembaga-lembaga Internasional atau juga disebut hukum Internasional.

Aqidah sebagian besar orang-orang di dunia sekarang ini adalah sekularisme, yang menyatakan bahwa :

Tuhan hanya mempunyai kedaulatan di surga atau di dalam masjid atau di gereja dan tempat-tempat peribadatan, sebaliknya manusia yaitu rakyat mempunyai kedaulatan di bumi dan seluruh aspek kehidupan, kecuali agama.

Menurut aqidah sekulerisme, agama adalah suatu urusan pribadi antara seseorang individu dengan Tuhan atau sesuatu yang diagungkan seperti matahari, sapi, patung, orang, dan lain-lain.

Ini adalah realita yang terjadi di badan legislatif (parlemen) dan dasar bagaimana badan tersebut dibangun.

Mengenai realitas ‘nyoblos’; pemilih atau orang yang memberikan suaranya, mempunyai kedaulatan umum karena rakyatlah yang membuat hukum untuk urusan mereka sendiri di dalam masyarakat. Karena mereka memiliki kedaulatan, maka mereka menentukan suatu mekanisme dalam memilih para wakilnya, yang menjadi wakil rakyat untuk membuat hukum(UU) dan memerintah atas nama kepentingan-kepentingan mereka sendiri.

Hal ini diwujudkan dalam prinsip politik sekuler (demokrasi) yang menyatakan bahwa :

‘Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’

oleh sebab itu kita dapat menyimpulkan bahwa rakyat berhak untuk membuat hukum atau undang-undang.

Realitas dari pemilih adalah dia sebagai orang yang memilih wakilnya, yang menghasilkan fakta bahwa dia juga bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh wakilnya. Tugas para wakilnya disini adalah membuat hukum (UU) supaya dapat mengatur semua kepentingan rakyat.

Ringkasnya, badan legislatif (DPR/DPRD) atau parlemen (dalam sistem politik Barat) adalah sebuah badan yang membuat hukum (UU), rakyat adalah raja, dan sumber pembuatan serta penetapan hukum (UU), dan para wakil rakyat dipilih oleh rakyat untuk membuat serta menetapkan hukum (UU) atas nama rakyat.

Hukum terhadap hal ini adalah :

1. Seseorang yang percaya bahwa Allah SWT bukan satu-satunya pembuat hukum (UU) dan penguasa tunggal, adalah seorang yang tidak beriman (kafir).

2. Seseorang yang percaya kekuasaan Allah SWT tetapi menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain dan menentang bahwa dia sebagai pembuat hukum dan penguasa tunggal adalah seorang yang musyrik yang menyekutukan Allah dengan sesuatu yang lain.

3. Seorang muslim yang memberikan suara untuk memilih wakilnya, dan telah mengetahui bahwa badan legislatif (DPR/DPRD) adalah sebuah lembaga untuk membuat hukum (UU) adalah seorang yang ingkar terhadap agama.

4. Seorang muslim yang berpartisipasi dalam pemilihan untuk menjadi seorang wakil rakyat (DPR/DPRD) dan dia telah mengetahui realitas badan legislatif (parlemen) adalah seorang yang ingkar terhadap agama.

5. Seorang muslim yang tidak mengetahui realitas badan legislatif (parlemen) dan dia memberikan suara maka dia berdosa, karena dia tidak mencari status hukum dari perbuatannya, sebelum melaksanakan perbuatan tersebut. Kaidah syara’ menyatakan bahwa setiap perbuatan, lisan atau fisik, harus didasarkan pada hukum syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-sunnah.

6. Seorang muslim yang berpartisipasi nyoblos untuk memilih para wakilnya, apakah wakilnya itu muslim atau non muslim, karena mendasarkan tindakan pada suatu pendapat yang menyesatkan dari seorang rasionalis sekuler atau ulama sekuler, maka persoalan ini harus dijelaskan kepadanya. Karena pemahaman bahwa Allah adalah satu-satunya pembuat hukum adalah sesuatu yang harus diketahui dari Dienul Islam sebagai suatu kebutuhan, sehingga ketidaktahuan tentang hal ini tidak bisa dijadikan sebagai sebuah alasan, oleh karena itu dia berdosa.

7. Keadaan yang bisa dijadikan alasan untuk terhindar dari kesalahan itu adalah orang yang baru masuk Islam (muallaf), atau seorang yang betul-betul bodoh dan atau seseorang yang tidak mengetahui tentang sesuatu yang seharusnya diketahui sebagai kebutuhan dari Dienul Islam dikarenakan dia hidup di bawah hukum kufur dan hidup di tengah-tengah orang-orang non muslim. Persoalan ini harus dijelaskan kepada mereka tetapi jika mereka tetap melanjutkan untuk memberikan suara (nyoblos) karena mengatakan bahwa mereka mempunyai pendapat yang berbeda maka mereka berdosa.

Dalil syar’i untuk fatwa di atas adalah firman Allah SWT :

“Dengan kembali bertaubat kepadaNya dan bertakwalah kepadaNya serta dirikanlah sholat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. (QS. 30 : 31)

Juga firman Allah :

”Dan dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutunya dalam menetapkan keputusan” (QS 18 : 26)

Dan juga sudah sangat dikenal dalam Islam bahwa hukum apapun selain hukum Allah adalah Thaghut dan Allah mengancam orang-orang yang merujuk kepada Thaghut :

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang telah diturunkan dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut padahal mereka telah diperintahkan mengingkari thaghut itu.Dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya” (QS 4 : 60)

Telah disampaikan mengenai keadaan tentang ayat di atas bahwa orang-orang munafik mengaku dirinya muslim tetapi ketika berselisih, mereka justru merujuk kepada keputusan-keputusan yang diciptakan para wakil rakyat (ketika itu) sebagai pembuat hukum (UU) seperti Amru Bin Luhay,Al-Khuzaa’ie dan Ka’ab Bin Al-Ashraef bersama-sama dengan para rahib, pendeta dan para wakil rakyat yang lain yang telah terbiasa membuat hukum (UU) untuk mereka, daripada merujuk kepada Rasulullah dan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Kuasa.

Mengenai orang-orang yang telah tersesat dan telah jatuh pada kemungkaran dan kemaksiatan yang nyata ini Rasulullah SAW berkata “

“Salah satu yang sangat saya takutkan dari ummatku adalah adanya pemimpin-pemimpin yang sesat yang mengarahkan sebagian dari ummatku untuk menyembah berhala dan mengarahkan sebagian yang lain untuk mengikuti orang-orang musyrik”.

Sehingga siapapun yang memilih dan mengikuti para pembuat hukum (UU) yang sesat tersebut, maka nyata-nyata mereka telah memilih seorang raja untuk membuat hukum (UU) untuk mereka. Hal ini berarti mereka telah menyekutukan Allah karena mencipta hukum dan memerintah hanyalah hak Allah semata.

”Manakah yang baik, Tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya menyembah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya.Allah tidak menurunkan suatu keterangan mengenai nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia. Itulah agama yang lurus tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS:12:39-40)

Hal ini adalah realitas suatu aqidah baru yang menyatakan bahwa kedaulatan di tangan manusia yang telah diikuti sebagian besar orang sekarang ini. Oleh karena itu apapun yang telah dilakukan seseorang sebagai perbuatan yang baik dan juga apapun yang telah dilakukan seorang muslim seperti sholat, puasa dan perbuatan baik yang lain, tetapi setelah itu melakukan kemungkaran ini dan tidak bertaubat dari kemungkaran ini maka seluruh perbuatan baiknya itu menjadi sia-sia, Allah SWT berfirman :

”Itulah petunjuk Allah, yang dengannya dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya diantara hamba-hambanya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amal-amalan yang telah mereka kerjakan”(QS 6 : 88)

Dan bagi orang-orang yang mengatakan bahwa kami tidak menyebut mereka ‘Pencipta’ tetapi kami hanya menyebut mereka ‘Pemerintah’, maka mereka harus segera mengingat firman Allah SWT :

”Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam” (QS 7 : 54)

Oleh karena itu tidak seorangpun yang diperbolehkan untuk disekutukan dengan-Nya, sebagai Dzat yang Maha Pencipta sama halnya tidak seorang pun yang berhak untuk menyekutukan-Nya, sebagai Dzat Yang Maha Memerintah dan Dzat Yang Maha Membuat Hukum.

Mengenai orang-orang yang telah disesatkan oleh yang lain dan telah melakukan kemaksiatan ini, maka itu adalah sebuah kesalahan mereka, kami menasehati mereka untuk takut kepada Allah dan tidak melakukan kemaksiatan ini lagi, karena Allah SWT akan mengampuni hambanya yang telah melakukan suatu perbuatan tanpa kesengajaan, tetapi dia tidak akan pernah mengampuni hambanya yang melakukan perbuatan itu dengan sengaja, sampai mereka berhenti dan minta ampun kepadanya. Allah SWT berfirman :

”Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu”(QS 33 : 5)

Sehingga kesalahan yang dilakukan tanpa kesengajaan adalah akan diampuni seperti yang telah diceritakan oleh Rasulullah SAW tentang seorang Badui yang telah kehilangan ontanya di padang pasir bersama dengan seluruh pakaian dan airnya dan kemudian dia menemukan ontanya setelah kehilangan seluruh harapan hidupnya dan telah bersiap menghadapi kematian. Allah SAW mengirimkan ontanya kembali kepadanya dan dia memohon seraya berkata : “Ya Allah kamu adalah Hambaku dan aku adalah Rajamu. Berkenaan dengan hal ini Rasulullah SAW berkata “Sesungguhnya dia melakukan kesalahan itu karena dia tenggelam dalam kebahagiaan”.

Sangatlah berbeda antara orang yang memilih atau memberikan suara karena ketidaktahuan, mengira bahwa apa yang dilakukannya itu adalah perbuatan yang baik dengan orang yang melakukan kejahatan itu dengan sengaja. Dia mengajak orang-orang untuk berpartisipasi dalam pemilihan dan memberi suara, mengumpulkan dana, kampanye, mendirikan posko-posko, menulis dan menyebarkan selebaran, mengundang para wakil rakyat di rumah Allah (masjid) memberi mereka hadiah, menjamu mereka dan bahkan mengorbankan Tauhid agar dapat dipilih atau dapat memberikan suara karena mengira mereka mendapatkan keuntungan darinya. Adalah sangat berbeda orang-orang seperti ini dengan seorang Badui yang telah disebutkan dalam cerita di atas yang melakukan kesalahan karena ketidaksengajaan.

Akhirnya kami ingin menekankan disini bahwa tujuh fatwa di atas tidak termasuk orang-orang yang memilih atau memberikan suara karena di bawah tekanan dan paksaan, atau murni karena ketidaktahuaan, atau orang yang telah disesatkan tanpa ada penjelasan padanya. Ini adalah salah satu dari malapetaka yang telah mempengaruhi kehidupan kaum muslimin di belahan bumi ini.

Kami berdo’a kepada Allah SWT semoga mereka segera sadar akan kesalahannya dan semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk beraktivitas dalam rangka melaksanakan perintah-Nya dan menegakkan agama-Nya, sehingga kedaulatan hanya milik Allah semata, dan kejayaan Islam segera menaungi seluruh bagian bumi ini. Segala Kemuliaan dan Pujian semata-mata hanya untuk-Nya.

Ya Allah…saksikanlah, kami telah menyampaikannya !

Demokrasi Sejalan dengan Islam ?

Judul Buku : Demokrasi Sejalan dengan Islam ?

Penulis : Abu Muhammad Al Maqdisy

Penerjemah : Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Penerbit : Ar Rahmah Media

Tahun Terbit : Cetakan 1 Maret 2008

Jumlah Halaman : 128 halaman

Sinopsis :

Demokrasi bagaikan fatamorgana. Terlihat indah dan menjanjikan namun realitasnya rusak dan mengecewakan. Tapi, mengapa masih banyak umat Islam yang berharap kepadanya ?

Demokrasi adalah fitnah terbesar masa kini. Keberadaannya dibela sekaligus dicela. Demokrasi terkadang dianggap sebagai sumber kebebasan, kadang disamakan dengan syuro (musyawarah). Kadang dinisbatkan kepada jabatan Yusuf a.s. di sisi rajanya, atau kekuasaan Raja Najasy. Lebih seringnya demokrasi digunakan dengan dalih maslahat dan istihsan (anggapan baik). Apakah dengan semua alasan-alasan tersebut menjadikan demokrasi sejalan dengan Islam ?

Syekh Abu Muhammad Ashim Al Maqdisy menjawab seluruh pertanyaan penting tentang hakikat demokrasi, hokum dan konsekuensi bagi para penganutnya. Beliau menjelaskan pula syubhat-syubhat yang menjangkiti para pengagum demokrasi. Sebuah penjelasan dan bayan yang mencerahkan.

Dosa Demokrasi, Pemilu, dan Partai

Berikut Dosa Demokrasi, Pemilu, dan Partai yang ditulis oleh Syekh Abdul Madjid Bin Mahmud Arraimy. Keterangan tentang Dosa-dosa berikutnya secara berkala akan dipublikasikan. Semoga bisa menyadarkan kaum Muslimin yang masih tertipu oleh demokrasi, pemilu, dan partai!

MUQADDDIMAH

Segala puji hanya milik Allah, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya serta orang yang berwala’ kepadanya.
Amma ba’du.

Ini adalah kajian singkat yang menjelaskan tentang beberapa indikasi destruktif dan bahaya yang ditimbulkan akibat terjun dan berkiprah dalam kancah demokrasi yang banyak orang tertipu dengannya dan menggantungkan harapan mereka kepadanya meskipun hal ini jelas-jelas bertentangan dengan manhaj Allah sebagaimana yang akan dijelaskan dalam kajian yang singkat ini, apalagi banyak sudah pengalaman pahit yang didapat oleh orang yang tertipu dengan permainan ini dan ditampakkan sisi penyimpangan dan kesesatannya.

Penyusun

LIMA PULUH DOSA

Dengan memohon taufiq kepada Allah, kami berusaha memaparkan beberapa indikasi destruktif (kerusakan) demokrasi, pemilihan umum dan berpartai:

1. Demokrasi dan hal-hal yang berkaitan dengannya berupa partai-partai dan pemilihan umum merupakan manhaj jahiliyah yang bertentangan dengan Islam, maka tidak mungkin sistem ini dipadukan dengan Islam karena Islam adalah cahaya sedangkan demokrasi adalah kegelapan.

“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat dan tidak (pula) kegelapan dengan cahaya.” (Surat Faathir: 19-20)

Islam adalah hidayah dan petunjuk sedangkan demokrasi adalah penyimpangan dan kesesatan.
“Sungguh telas jelas petunjuk daripada kesesatan.” (Surat Al-Baqarah: 256)

Islam adalah manhaj rabbani yang bersumber dari langit sedangkan demokrasi adalah produk buatan manusia dari bumi. Sangat jauh perbedaan antara keduanya.

2. Terjun ke dalam kancah demokrasi mengandung unsur ketaatan kepada orang-orang kafir baik itu orang Yahudi, Nasrani atau yang lainnya, padahal kita telah dilarang untuk menaati mereka dan diperintahkan untuk menyelisihi mereka, sebagaimana hal ini telah diketahui secara lugas dan gamblang dalam dien.

Allah Ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman jika kalian menaati sekelompok orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir setelah kamu beriman.” (Surat Ali ‘Imran: 100)

“Karena itu janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran dengan jihad yang besar.” (Surat Al-Furqaan: 52)

“Dan janganlah kamu menaati orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik itu, janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung(mu).” (Surat Al-Ahzaab: 48)

Dan ayat-ayat yang senada dengan ini sangat banyak dan telah menjadi maklum.

3. Sistem demokrasi memisahkan antara dien dan kehidupan, yakni dengan mengesampingkan syari’at Allah dari berbagai lini kehidupan dan menyandarkan hukum kepada rakyat agar mereka dapat menyalurkan hak demorkasi mereka –seperti yang mereka katakan– melalui kotak-kotak pemilu atau melalui wakil-wakil mereka yang duduk di Majelis Perwakilan.

4. Sistem demokrasi membuka lebar-lebar pintu kemurtadan dan zindiq, karena di bawah naungan sistem thaghut ini memungkinkan bagi setiap pemeluk agama, madzhab atau aliran tertentu untuk membentuk sebuah partai dan menerbitkan mass media untuk menyebarkan ajaran mereka yang menyimpang dari dienullah dengan dalih toleransi dalam mengeluarkan pendapat, maka bagaimana mungkin setelah itu dikatakan, “Sesungguhnya sistem demokrasi itu sesuai dengan syura dan merupakan satu keistimewaan yang telah hilang dari kaum muslimin sejak lebih dari seribu tahun yang lalu,” sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah orang jahil, bahkan (ironisnya) hal ini juga telah ditegaskan oleh sejumlah partai Islam yang dalam salah satu pernyataan resminya disebutkan:

“Sesungguhnya demokrasi dan beragamnya partai merupakan satu-satunya pilihan kami untuk membawa negeri ini menuju masa depan yang lebih baik.”

5. Sistem demokrasi membuka pintu syahwat dan sikap permissivisme (menghalalkan segala cara) seperti minum arak, mabuk-mabukan, bermain musik, berbuat kefasikan, berzina, menjamurnya gedung bioskop dan hal-hal lainnya yang melanggar aturan Allah di bawah semboyan demokrasi yang populer, “Biarkan dia berbuat semaunya, biarkan dia lewat dari mana saja ia mau,” juga di bawah semboyan “menjaga kebebasan individu.”

6. Sistem demokrasi membuka pintu perpecahan dan perselisihan, mendukung program-program kolonialisme yang bertujuan memecah-belah dunia Islam ke dalam sukuisme, nasionalisme, negara-negara kecil, fanatisme golongan dan kepartaian. Hal ini bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Rabbmu, maka bertaqwalah kepada-Ku.” (Surat Al-Mukminun: 52)

Juga bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:

“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (dien) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Surat Ali ‘Imran: 103)

Dan firman-Nya:

“Dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu gagal dan hilang kekuatanmu.” (Surat Al-Anfal: 46)

7. Sesungguhnya orang yang bergelut dengan sistem demokrasi harus mengakui institusi-institusi dan prinsip-prinsip kekafiran, seperti piagam PBB, deklarasi Dewan Keamanan, undang-undang kepartaian dan ikatan-ikatan lainnya yang menyelisihi syari’at Islam. Jika ia tidak mau mengakuinya, maka ia dilarang untuk melaksanakan aktivitas kepartaiannya dan dituduh sebagai seorang ekstrim dan teroris, tidak mendukung terciptanya perdamaian dunia dan kehidupan yang aman.

8. Sistem demokrasi memvakumkan hukum-hukum syar’i seperti jihad, hisbah, amar ma’ruf nahi munkar, hukum terhadap orang yang murtad, pembayaran jizyah, perbudakan dan hukum-hukum lainnya.

9. Orang-orang murtad dan munafiq dalam naungan sistem demokrasi dikategorikan ke dalam warga negara yang potensial, baik dan mukhlis, padahal dalam tinjauan syar’i mereka tidak seperti itu.

10. Demokrasi dan pemilu bertumpu kepada suara mayoritas tanpa tolak ukur yang syar’i. Sedangkan Allah Ta’ala telah berfirman:

“Dan jika kamu mentaati kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (Surat Al-An’am: 116)

“Akan tetapi kebanyakan manusia itu tidak mengetahui.” (Surat Al-A’raf: 187)

“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Surat Saba’: 13)