Perilaku Pecundang Dalam Demokrasi

Demokrasi agaknya bukan hanya dibangun di atas landasan pertarungan politik yang bebas, jujur, dan adil, tapi juga kemauan dari para pecundang untuk menerima kekalahan dengan lapang dada.

Apa jadinya jika massa yang kalah dalam sebuah kompetisi tak mau menerima kekalahan mereka dengan hati ikhlas alias "legowo"?

Indonesia menyaksikan berbagai kejadian yang melibatkan massa yang tak bisa menerima kekalahan dan mereka melampiaskan kemarahan dengan merusak fasilitas umum maupun milik pribadi.

Pada Pemilu 1999, sejumlah insiden pembakaran fasilitas umum terjadi karena ada sekelompok orang yang tergabung dalam massa yang marah, yang tak bisa menerima kekalahan politisi jagoan mereka meraih kursi kepresidenan.

Di dunia persepakbolaan, ada massa yang dikenal dengan kaum "bonek", akronim dari "bondo nekat", bermodal kenekatan, yang tak lain adalah para anak muda dari Jawa Timur, sebagian besar dari Surabaya dan sekitarnya.

Mereka ini pendukung kesebelasan Persebaya yang tak siap dengan kekalahan tim kesayangan mereka.

Mereka nekat dari Surabaya ke Jakarta tanpa bekal memadai menyaksikan tim favorit mereka bertanding melawan kesebelasan lain yang berlaga di Gelora Bung Karno.

Jika kesebelasan mereka kalah, mereka melampiaskan kekesalan mereka dengan merusak fasilitas umum, juga ada yang sampai menjarah makanan.

Mereka tak mengenal spirit kalah secara lapang dada. Bagi mereka, kalah dan menang adalah soal pertaruhan harga diri. Menang berarti hebat dan kalah sama artinya dengan situasi yang memalukan.

Mereka tak mengenal semboyan kaum optimis yang memandang kekalahan tak lebih dari sebuah kemenangan yang tertunda. Mereka juga tak mengenal apalagi menghayati apa yang oleh Mangunwijaya disebut sebagai relativitas tafsir atas kemenangan dan kebenaran.

Ketika Orde Baru yang berkuasa lebih dari tiga dasawarsa itu akhirnya tumbang, penulis "Durga Umayi" itu melontarkan ucapan termasyhur: "Ternyata yang disebut menang itu kalah, yang disebut kalah itu menang."

Kalimat itu bisa ditafsir sesuai dengan konteks wacana. Pada masa kejayaan rezim Orba yang ditopang serdadu, yang disebut pemenang itu jelas, namun toh ada batas untuk jadi sang pemenang.

Begitu Orba terguling, sang pecundang yang teraniaya pada masa sebelumnya, akhirnya jadi pemenang. Mereka yang sebelumnya dijebloskan di penjara karena kejahatan politik akhirnya berdasi menjadi legislator.

Kini momentum Pemilu legislatif 2009 telah usai dan sebentar lagi tak kurang dari 11.000 calon legislator yang berkompetisi akan menghadapi situasi kalah dan menang. Sebagian kecil akan jadi pemenang dan sebagian besar akan menunda kemenangan mereka.

Pada momen seperti inilah demokrasi membutuhkan atau memanggil mereka yang kemenangannya tertunda untuk "legowo".

Tak kalah urgennya, massa mereka yang kalah harus siap menerima kekalahan jago mereka.

Di Tempat Pemungutan Suara (TPS) 75 dan 77 Kelurahan Jatimekar Bekasi Jawa Barat, sikap dan perilaku menerima kekalahan dengan lapang dada itu diperlihatkan warga yang mengambil bagian dari pesta politik lima tahunan itu.

Beda dengan suasana Pemilu Legislatif 2004 yang lebih "heboh" karena penghitungan suaranya bisa dengan gamblang memperlihatkan kemenangan parpol, pemilu kali ini "adem ayem" karena setiap suara yang dihitung langsung merujuk ke parpol sekaligus calon legislator yang diusungnya.

Tak ada tepuk tangan meriah dari simpatisan parpol ketika petugas menyatakan suara X untuk parpol Y.

"Kurang seru ya pemilu sekarang ini," kata Mpok Dizah (31), ibu rumah tangga yang menyaksikan penghitungan suara setelah aksi pencentangan dalam memberikan suara pemilih untuk calon legislator dan parpolnya.

Menurut perempuan etnis Betawi yang mengenyam pendidikan sampai bangku sekolah menengah pertama itu, pemilu kali ini sedikit "ribet".

Pendapat Marwanto (25), alumnus program Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta, yang mencentang di TPS 75 Jati Mekar lain lagi.

"Terus terang, saya tadi ibarat memilih kucing dalam karung. Tak ada satu pun caleg yang saya kenal secara lebih dekat. Saya tak kenal moralitas mereka. Tapi apa boleh buat. Saya hanya berpegangan pada parpol yang selama ini saya anggap bersih. Itulah pedoman memilih saya," katanya.

Sebagai pemilih yang bukan simpatisan berat partai politik, baik Mpok Dizah maupun Marwanto mengatakan, tidak jadi masalah bila parpol yang mereka pilih ternyata tak menjadi pemenang utama dalam perolehan suara.

"Kalah `kek`, menang `kek`, itu bukan urusan saya lagi. Mudah-mudahan caleg yang kalah tidak stres," kata Mpok Dizah.

"Mestinya, kalau sudah siap berkompetisi, harus siap untuk kalah. Kalau untuk menang, ya tak perlu persiapan lah!" kata Marwanto.

Tampaknya, dengan sistem pemilihan calon legislator yang juga menunjuk langsung ke pribadi-pribadi sang calon, kristalisasi pemihakan pada parpol jadi cair.

Itu sebabnya para pemilih seperti Mpok Dizah dan Marwanto tak perlu harus merasa kecewa apalagi marah jika jagoan mereka kalah dalam perolehan suara.

Dengan kata lain, para pemilih itu sudah berlapang dada tanpa harus dituntut untuk itu. (*)