oleh Abu Bashir Mushthofa Halimah
بسم الله الرحمن الرحيم
Kepada mereka yang masih beranggapan bahwa perbedaan pendapat tentang demokrasi adalah perbedaan pendapat dalam ranah wasa’il dan furu’iyyah (cabang agama), tidak menyentuh ranah ushul (pokok agama) dan i’tiqad (keyakinan)….
Kepada para da’i tambal sulam, koleksi dan penggabungan (manhaj dan ideologi)….
Kepada mereka yang masih tidak mengetahui hakekat demokrasi….
Kepada mereka yang mencampuradukkan –secara dusta– demokrasi dengan syura dan Islam….
Kepada mereka yang memandang bahwa demokrasi adalah solusi terbaik untuk menjawab problematika Islam dan kaum muslimin…
Kepada mereka yang mempropagandakan dan menyerukan demokrasi, kemudian setelah itu mengaku dirinya seorang muslim…
Kepada mereka semua kami katakan, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Maka tidak boleh ada kepemimpinan yang lebih tinggi dari kedudukan rakyat, dan tidak ada kehendak yang boleh mengatasinya lagi, meskipun itu kehendak Allah. Bahkan dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat, kehendak Allah dianggap sepi dan tidak ada nilainya sama sekali.
Demokrasi adalah suatu sistem yang menjadikan sumber perundang-undangan, penghalalan dan pengharaman sesuatu adalah rakyat, bukan Allah. Hal itu dilakukan dengan cara mengadakan pemilihan umum yang berfungsi untuk memilih wakil-wakil mereka di parleman (lembaga legislatif).
Hal ini berarti bahwa yang dipertuhan, yang disembah dan yang ditaati –dalam hal perundang-undangan– adalah manusia, bukan Allah. Ini adalah tindakan yang menyimpang, bahkan membatalkan prinsip Islam dan tauhid. Di antara dalil yang menunjukkan bahwa sikap demikian merusakkan tauhid adalah,
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf:40)
dan dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan (al-Kahfi:26)
Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? (asy-Syura:21)
Dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(al-An’am:121)
Oleh karena kalian telah menyembah mereka, dari aspek ketaatan kalian kepada mereka dalam hal menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah, maka kalian telah berbuat syirik dengan menyembah mereka. Karena syirik itu, sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah, adalah mengarahan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah.
Demikian juga firman Allah
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Tuhan selain Allah (at-Taubah:31)
Mereka dianggap menjadi arbab (tuhan-tuhan) selain dari Allah, karena mereka telah mengaku berhak membuat tasyri’, menghalakan dan mengharamkan sesuatu, dan menetapkan undang-undang.
Demokrasi berarti mengembalikan segala bentuk pertengkaran dan perselisihan, antara hakim dan yang dihukumi kepada rakyat, tidak kepada Allah dan rasul-Nya. Ini adalah penyelewengan dari firman Allah,
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (asy-Syura:10)
Bagi para penganut faham demokrasi akhir ayat ini diganti dengan kalimat, maka putusannya (hukumnya) terserah kepada rakyat, dan bukan diserahkan kepada selain rakyat. Firman Allah,
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. (an-Nisa’:59)
Allah menetapkan, bahwa di antara konsekuensi iman adalah mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada Allah dan Rasul-Nya, yakni dengan mengacu kepada al-Qur’an dan as-Sunnah
Demokrasi adalah, sebuah sistem yang berprinsip pada kebebasan berkeyakinan dan beragama. Seseorang –dalam pandangan demokrasi– boleh berkeyakinan apa saja yang ia maui, bebas memilih agama apa saja yang ia inginkan. Ia bebas menentukan apa yang ia inginkan, dan seandainya ia menginginkan untuk keluar dari Islam berganti agama lain, atau menjadi seorang atheis, maka tiada masalah dan ia tidak boleh dipermasalahkan.
Adapun hukum Islam berlawanan dengan hal itu. Hukum Islam tunduk kepada ketentuan yang telah disabdakan Rasulullah saw.
مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ
Barangsiapa mengganti agamanya maka bunuhlah ia
Menurut hadis tersebut, orang yang keluar dari Islam harus dibunuh, bukan dibiarkan saja. Demikian juga di dalam sabda Rasulullah saw
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَقُوْلُوْا لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ، وَيُقِيْمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ..
Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengatakan laa ilaha illallah, mendirikan shalat, menunaikan zakat… (HR Bukhari dan Muslim)
بُعِثْتُ بَيْنَ يَدَيْ السَّاعَةِ بِالسَّيْفِ ، حَتَّى يُعْبَدُ اللهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ..
Aku diutus di akhir masa, dengan membawa pedang sehingga Allah semata disembah dan tidak disekutukan.
Dan telah maklum bahwa Islam memberikan tiga alternatif untuk ahli kitab, yaitu: masuk Islam, membayar jizyah dengan sikap tunduk, atau perang. Adapun kepada para penyembah berhala, seperti kaum musyrik Arab dan lain-lainnya, maka bagi mereka ada dua lternatif yang bisa dipilih, yaitu masuk islam atau diperangi.
Demikian juga ketika Isa as turun –sebagaimana diinformasikan di dalam as-sunnah– maka ia akan mematahkan salib, membunuh babi, menjatuhkan jizyah, dan tidak menerima ajaran para orang-orang yang menyimpang –termasuk ahlul kitab– selain Islam, atau berperang.
Berdasarkan hakekat nas-nas di atas, dan juga nash syara’ lainnya yang mempunyai hubungan dengan masalah ini, kita bisa mendudukkan firman Allah
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); (al-Baqarah:256)
Demokrasi adalah sistem yang berprinsip pada kebebasan berpendapat dan bertindak, apapun bentuk pendapat dan tindakannya, meskipun mencaci maki Allah dan Rasul-Nya serta merusak agama, karena demokrasi tidak mengenal sesuatu yang suci sehingga haram mengkritiknya atau membahasnya panjang lebar. Dan apapun bentuk pengingkaran terhadap kebebasan berarti pengingkaran terhadap sistem demokrasi. Dan itu berarti menghancurkan kebebasan yang suci, dalam pandangan demokrasi dan kaum demokrat.
Inilah hakekat kekufuran terhadap Allah, karena di dalam Islam tidak ada kebebasan untuk mengungkapkan kata-kata kufur dan syirik, tidak ada kebebasan untuk hal yang merusak dan tidak membawa maslahat, tidak ada kebebasan untuk hal yang menghancurkan dan tidak membangun, serta tidak ada kebebasan untuk memecah belah tidak membangun persatuan. Firman Allah
Allah tidak menyukai Ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. (an-Nisa’;148)
Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, Karena kamu kafir sesudah beriman. (at-Taubah:65-66)
Ayat-ayat ini diturunkan berkenaan dengan sekelompok kaum munafik, ditengah perjalanan menuju medan perang Tabuk, mengatakan tentang para shahabat Rasul, “Kami tidak penah melihat orang yang lebih rakus, lebih dusta kata-katanya dan lebih pengecut ketika pertempuran seperti para qurra’ ini”. Dengan kata-kata itu mereka ditetapkan sebagai orang kafir, setelah sebelumnya dianggap sebagai orang mukmin.
Dan di dalam hadis shahih dinyatakan bahwa Rasulullah saw bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ لاَ يَرَى بِهَا بَأْساً يَهْوِي بِهَا سَبْعِيْنَ خَرِيْفاً فِي النَّارِ ” .
Sesungguhnya seorang lelaki berkata-kata dengan kata-kata yang dianggapnya tidak apa-apa, tetapi kata-katanya itu menyebabkannya berada di neraka selama 70 tahun
Dari Sufyan bin Abdullah ra, ia berkata.
قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَا أَخْوَفُ مَا تَخَافُ عَلَيَّ ؟ فَأَخَذَ بِلِسَانِ نَفْسِهِ ، ثُمَّ قَالَ هَذَا
Aku bertanya, Wahai Rasulullah, “Hal apakah yang paling engkau takutkan dari diriku?” Beliau memegang mulut beliau sendiri seraya berkata, “Ini” (at-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
مَنْ وَقَاهُ اللهُ شَرَّ مَا بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَشَرَّ مَا بَيْنَ فَخِذَيْهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang dijaga oleh Allah apa yang ada di antara kedua bibirnya dan di antara kedua kakinya, maka ia akan masuk ke dalam sorga
وهل يكب الناس في النار على وجوههم إلا حصائد ألسنتهم”
Adakah orang yang telungkup di neraka pada wajahnya kecuali orang yang menjaga lisannya
Lalu di manakah demokrasi meletakkan adab-adab mulia yang diajarkan oleh Islam yang hanif ini?
Demokrasi adalah sistem sekular dengan segala cabangnya, di mana ia dibangun di atas pemisahan agama dari kehidupan dan kenegaraan. Allah dalam pandangan demokrasi hanya diposisikan di pojok surau dan masjid saja, adapun wilayah-wilayah selain itu, baik dalam wilayah politik, ekonomi, sosial dan lain-lain maka wilayah itu bukan milik agama, wilayah itu semua adalah milik rakyat. Bahkan rakyat berhak menentukan suatu kebijaksanaan untuk dimasukkan ke dalam masjid, meskipun hal itu sebenarnya mengandung kemadlaratan
Lalu mereka Berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan Ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, Maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka, amat buruklah ketetapan mereka itu. (al-An’am:136)
Mereka mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (an-Nisa’:150-151)
Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. (an-Nisa’:151)
Itulah hukum untuk semua bentuk demokrasi sekularisme yang memisahkan antara agama dengan negara dan politik, serta semua urusan hidup manusia, meskipun lisannya menyatakan bahwa dirinya adalah muslim dan mukmin.
Demokrasi adalah sistem yang berpijak pada prinsip kebebasan individual, maka seseorang –menurut ajaran demokrasi– berhak melakukan apa saja yang diinginkannya, termasuk melakukan tindakan yang mungkar, keji maupun yang merusak, tanpa boleh diawasi.
Bila kaum Ibahiyah (permisivisme) sepanjang sejarah dianggap sebagai kelompok-kelompok kafir zindik, lalu apa hukum demokrasi jika bukan itu juga..??
Demokrasi adalah sistem yang menjadikan pilihan rakyat sebagai orang yang berhak memimpin suatu bangsa, meskipun yang dipilih itu adalah orang kafir, zindik ataupun murtad dari agama Allah.
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (an-Nisa’:141)
Hal itu juga bertentangan dengan ijma’ umat Islam, bahwa orang kafir tidak boleh memimpin kaum muslimin, dan negara kaum muslimin.
Demokrasi adalah sistem yang berdiri di atas landasan persamaan semua manusia dalam hak dan kewajiban, dengan menutup mata dari aqidah dan agama yang diikutinya, dan juga menutup mata dari biografi moralnya, sehingga orang yang paling kufur, paling jahat dan paling bodoh disamakan dengan orang yang paling taqwa, paling shalih dan paling pandai dalam menetapkan persoalan yang sangat penting dan urgen, yaitu menyangkut siapa yang berhak memerintah negeri dan masyarakat….
Hal ini bertentangan dengan firman Allah
Maka apakah patut kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Atau Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (al-Qalam:35-36)
Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama. (as-Sajdah;18)
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar:9)
Dalam pandangan agama Allah mereka tidak sama, tetapi dalam pandangan agama demokrasi mereka sama saja.
Demokrasi didirikan di atas prinsip kebebasan membentuk berserikat dan organisasi, baik berupa organisasi politik (partai) maupun organisasi non politik. Dalam demokrasi bebas berserikat tanpa mempedulikan fikrah dan manhaj yang menjadi dasar (asas) organisasi itu. Dengan begitu, setiap kumpulan dan setiap organisasi bebas sebebas-bebasnya untuk menyebarkan kekufuran, kebatilan dan pemikiran yang merusak di seluruh penjuru negeri.
Hal ini dalam pandangan syara’ adalah penerimaan dengan suka rela akan keabsahan dan kebebasan melakukan tindakan kekufuran, kesyirikan, kemurtadan dan kerusakan. Sikap ini bertentangan dengan kewajiban untuk memerangi kekufuran dan kemungkaran, sebagai bentuk dari nahi munkar sebagaimana firman Allah
Di dalam hadis, yang shahih dari Rasulullah saw, beliau bersabda
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran maka hendaklah mengubah dengan tangannya, jika tidak bisa hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika tidak bisa hendaklah mengubah dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman (HR Muslim)
Hadis tersebut menyebutkan bahwa mengingkari dan mengubah kemungkaran adalah kewajiban, meskipun hanya dengan hati ketika tidak mampu lagi melakukan pengingkaran terhadap kemunkaran dengan tangan dan lisan. Adapun berinteraksi dengan kemunkaran sehingga muncul keridloan terhadap kemungkaran tersebut, maka ini merupakan bentuk kekufuran yang nyata. Inilah yang ditunjukkan oleh hadis berikut ini
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ ، وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ اْلإِيْمَانِ حَبَّةَ خَرْدَلٍ
“Maka siapa yang berjihad (bersungguh-sungguh untuk mengubah kemungkaran) mereka dengan tangannya maka ia mukmin, dan siapa yang berjihad dengan lisannya maka ia mukmin, dan yang berjihad dengan hatinya maka ia mukmin. Dan di balik itu semua tidak ada iman meskipun sebesar biji sawi”
Maksudnya, diluar pengingkaran dengan hati itu tidak lain adalah keridlaan. Ridla terhadap kekufuran menyebabkan hilangnya iman dari pemeluknya
Demikian juga sabda Rasulullah saw dalam hadis yang menceritakan tentang penumpang perahu yang melobangi dinding perahu karena enggan naik ke atas untuk mengambil air. Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan lainnya itu dikatakan
فَإِنْ تَرَكُوْهُمْ وَمَا أَرَادُوْا هَلَكُوْا جَمِيْعاً ، وَإِنْ أَخَذُوْا عَلَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعاً
Jika penumpang kapal lainnya membiarkan tindakan mereka dan apa yang mereka kehendaki itu maka mereka semua akan tenggelam, tetapi jika mereka mengambil tindakan terhadap mereka (yang melobangi perahu) maka mereka akan selamat dan semuanya akan selamat
Inilah perumpamaan demokrasi, ia mengatakan dengan sejelas-jelasnya, “Tinggalkanlah partai-partai yang dengan kebebasannya akan menenggelamkan kapal. Sebab tenggelamnya kapal akan menenggelamkan seluruh penumpangnya, dan segala harta yang ada di dalamnya”.
Tetapi jika hanya meninggalkan partai-partai yang bathil tanpa mengingkari dan memerangi kebathilannya atau kita hanya mengingkari kemungkaran tanpa berusaha mencegah kemunkaran yang akan menyebabkan hancurnya masyarakat, yang didalamnya terdapat kaum muslimin, apakah salah kalau dikatakan bahwa kita telah mengakui keabsahannya dan kebebasannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki dan diinginkan.
Sikap itu –pengakuan akan keabsahan suatu partai yang bathil– juga akan menyebabkan terpecah-belahnya ummat dan melemahkan kekuatannya, merusakkan kesetiaan mereka kepada kebenaran karena bergabung dengan partai syetan yang menyimpang dari kebenaran, dan meninggalkan ajaran yang diturunkan oleh Allah karena mengikuti seruan penguasa. Hal ini bertentangan dengan firman Allah;
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai (Ali Imran:103)
Dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah saw
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ اْلاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ ، مَنْ أَرَادَ بِحُبُوْحَةِ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ
Hendaklah kalian berada di dalam jama’ah dan jauhilah firqah. Sesungguhnya syetan bersama dengan orang yang sendirian dan terhadap orang yang berdua ia menjauh, barangsiapa yang menginginkan sorga yang terbaik maka hendaklah setia terhadap jama’ah (HR Ahmad dan Tirmidzi)
Demokrasi ditegakkan di atas prinsip menetapkan sesuatu berdasarkan pada sikap dan pandangan mayoritas, apapun pola dan bentuk sikap mayoritas itu, apakah ia sesuai dengan al-haq atau tidak. Al-Haq menurut pandangan demokrasi dan kaum demokrat adalah segala sesuatu yang disepakati oleh mayoritas, meskipun mereka bersepakat terhadap sesuatu yang dalam pandangan Islam dianggap kebathilan dan kekufuran.
Di dalam Islam, al-haq yang mutlak itu harus dipegang sekuat tenaga, meskipun mayoritas manusia memusuhimu, yaitu al-haq yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan sunnah. Al-Haq adalah ajaran yang sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah, meskipun tidak disetujui oleh mayoritas manusia, sedangkan a-bathil adalah ajaran yang dinyatakan batil oleh al-Qur’an dan sunnah, meskipun mayoritas manusia memandangnya sebagai kebaikan. Sebab keputusan tertinggi itu hanyalah hak Allah semata, bukan di tangan manusia, bukan pula di tangan suara mayoritas
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (al-An’am:116)
Dan di dalam hadis shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda;
إِنَّ مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصْدِقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ
Sesungguhnya di antara para nabi ada yang tidak diimani oleh umatnya kecuali hanya seorang saja (HR Muslim)
Jika dilihat dengan kaca mata demokrasi yang berprinsip suara mayoritas, di manakah posisi nabi dan pengikutnya ini?
Abdullah bin Mas’ud bertanya kepada Amr bin Maimun, “Jumhur jama’ah adalah orang yang memisahkan diri dari al-Jama’ah, sedangkan al-Jama’ah adalah golongan yang sesuai dengan kebenaran (al-haq) meskipun hanya dirimu seorang”
Ibnu al-Qayyim di dalam kitab A’lamul Muwaqqi’in mengatakan, “ketahuilah bahwa ijma’, hujjah, sawad al-A’dham (suara mayoritas) adalah orang berilmu yang berada di atas al-haq, meskipun hanya seorang sementara semua penduduk bumi ini menyelisihinya.
Demokrasi dibangun di atas prinsip pemilihan dan pemberian suara, sehingga segala sesuatu meskipun sangat tinggi kemuliaannya, ataupun hanya sedikit mulia harus diletakkan di bawah mekanisme ambil suara dan pemilihan. Meskipun yang dipilih adalah sesuatu yang bersifat syar’i (bagian dari syari’ah).
Sikap ini tentu bertentangan dengan prinsip tunduk, patuh, dan menyerahkan diri sepenuh hati serta ridla sehingga menghilangkan sikap berpaling dari Allah, ataupun lancang kepada Allah dan Rasul-Nya. Sikap itulah yang seharusnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya. Agama seorang hamba tidak akan lurus, dan imannya tidak akan benar tanpa adanya sikap tunduk dan patuh kepada Allah sepeti itu
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (al-Hujurat:1-2)
Kalau hanya meninggikan suara di atas suara nabi saw saja bisa sampai menghapuskan pahala amal perbnuatan, padahal amal tidak akan terhapus kecuali dengan kekufuran dan kesyirikan. Lalu bagaimanakah dengan orang yang lebih mengutamakan dan meninggikan hukum buatannya di atas hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah. Tak diragukan lagi, tindakan ini jauh lebih kufur dan lebih besar kemurtadannya, serta lebih menghapuskan amalnya
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka (al-Ahzab:36)
Tetapi demokrasi akan mengatakan, “Ya, harus diadakan pemilihan dulu, meskipun nantinya harus meninggalkan hukum Allah”
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (an-Nisa:65)
Demokrasi berdiri di atas teori bahwa pemilik harta secara hakiki adalah manusia, dan selanjutnya ia bisa mengusakan untuk mendapatkan harta dengan berbagai cara yang ia maui. Ia bebas pula membelanjakan hartanya untuk kepentingan apa saja yang ia maui, meskipun cara yang dipilihnya adalah cara yang diharamkan dan terlarang di dalam agama Islam. Inilah yang disebut dengan sistem kapitalisme liberal
Sikap ini berbeda secara diametral dengan ajaran Islam, dimana mengajarkan bahwa pemilik hakiki harta adalah Allah swt. Dan bahwasannya manusia diminta untuk menjadi khalifah saja terhadap harta kekayaan itu, maka ia bertanggung jawab terhadap harta itu di hadapan Allah; bagaimana ia mendapatkan dan untuk apa dibelanjakan…
Manusia dalam Islam tidak diperbolehkan mencari harta dengan cara haram dan yang tidak sesuai dengan syara’ seperti riba, suap, dan lain-lain…… Demikian juga ia tidak diizinkan untuk membelanjakan harta untuk hal-hal yang haram dan hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’. Manusia dalam ajaran Islam tidak memiliki dirinya sendiri, sehingga ia bebas melakukan apa saja yang ia inginkan tanpa mempedulikan petunjuk Islam. Karena itulah melakukan hal-hal yang membahayakan diri dan juga bunuh diri termasuk dosa besar yang terbesar, oleh Allah akan diberikan balasan adzab yang pedih. Pandangan seperti ini bisa kita dapatkan dalam firman Allah
Katakanlah: “Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. (Ali Imran:26)
Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (at-Taubah:111)
Jiwa adalah milik Allah, maka Allah membeli apa yang Dia miliki sendiri –jual beli khusus untuk orang mukmin– untuk menggambarkan pemberian kemuliaan, kebaikan dan keutamaan kepada mereka, sekaligus untuk mendorong mereka supaya berjihad dan mencari kesyahidan
Nabi saw apabila hendak mengirim seseorang menuju medan jihad, beliau berpesan,
إِنَّ لِلَّهِ مَا أَخَذَ ، وَلَهُ مَا أَعْطَى
Sesungguhnya kepunyaan Allah lah apa yang Dia mabil dan kepunyaan-Nya juga yang Dia berikan (HR Bukhari dan Abu Dawud)
Selanjutnya, seseorang tidak memiliki sesuatu yang ditunjukkan untuk bisa diambil karena sesungguhnya dia bukanlah pemiliknya, dia hanya mendapatkan titipan saja, sedang pemiliknya adalah Allah swt.
Secara ringkas, inilah demokrasi!!
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dengan penuh keyakinan, tanpa ada keraguan sedikit pun kami katakan, bahwa demokrasi dalam pandangan hukum Allah adalah termasuk kekufuran yang nyata, jelas dan tidak ada yang samar, apalagi gelap, kecuali bagi orang yang buta matanya dan buta mata hatinya. Adapun orang yang meyakininya, menyerukannya, menerima dan meridlainya, atau beranggapan –dasar dan prinsip yang mendasari bangunan demokrasi– sebagai kebaikan yang tidak terlarang oleh syara’, maka ia adalah orang yang telah kafir dan murtad dari agama Allah, meskipun namanya adalah nama Islam, dan mengaku dirinya termasuk muslim dan mukmin. Islam dan sikap seperti ini tidak akan pernah bersatu di dalam agama Allah selamanya.
Adapun orang yang mengatakan tentang demokrasi karena ketidakmengertiannya terhadap arti dan asasnya, maka kita akan menahan diri dari mengkafirkan dirinya, tetapi tetap akan mengatakan kekufuran kata-katanya itu, sehingga bisa ditegakkan hujjah syar’iyyah yang menjelaskan kekufuran demokrasi kepadanya, dan letak pertentangannya dengan din Islam. Sebab demokrasi termasuk ke dalam suatu terminologi dan faham yang dibuat dan problematik bagi kebanyakan orang. Dengan itulah bagi orang yang tidak mengerti bisa dimaafkan, sampai ditegakkan hujjah kepadanya, agar ketidakmengertiannya itu menjadi sirna.
Demikian juga kepada mereka yang, menyebut-nyabut istilah demokrasi tetapi dengan makna dan dasar yang berbeda dengan apa yang telah kami sebutkan di atas, seperti orang yang meminjam istilah tetapi yang dimaksudkan adalah permusyawarahan, atau yang dimaksudkan adalah kebebasan berpendapat dan bertindak dalam hal yang membangun, atau melepaskan ikatan pengekang yang menghalangi manusia dari membiasakan diri dengan hak-hak syar’i dan hak-hak asasi mereka, dan bentuk-bentuk penggunaan istilah demokrasi dengan maksud yang berbeda dengan hakekat demokrasi lain, maka ia tidak boleh dikafirkan. Inilah sikap adil seimbang, yang sesuai dengan kaidah-kaidah dan pokok-pokok agama.
Adapun hukum Islam berkenaan dengan kegiatan di lembaga legislatif, maka kami katakan, “Sesungguhnya kegiatan legislasi (kegiatan di lembaga legislatif) –adalah kegiatan yang telah menyeleweng dari aqidah dan syari’ah yang tak mungkin untuk ditebus— hal itu termasuk kekufuran yang sangat jelas. Maka tidak boleh ada hukum atau pendapat yang lain, selain hukum kufur.
Adapun bagi anggota legislatif maka mereka adalah orang yang meniti jalan kedhaliman. Tentang mereka itu kami katakan, “Orang yang ikut menjadi aggota parlemen karena dilatarbelakangi oleh pemahaman yang rancu (syubhat), ta’wil, dan kesalahfahaman maka mereka tidak kita kafirkan –meskipun tetap kita katakan bahwa aktifitas yang mereka lakukan adalah aktifitas kufur. Kita akan tetap berpendapat demikian sampai ditegakkan hujjah syar’iyyah, sehingga hilanglah kesalahfahaman, ketidaktahuan dan kerancuan pemahaman mereka.
Adapun orang menjadi anggota legislatif apabila dilatarbelakangi oleh sikap yang menyimpang dari syari’ah atau bahkan tidak mempedulikan syari’ah, maka mereka itu adalah orang kafir, karena tidak ada mawani’ (penghalang) takfir pada dirinya,sementara syarat-syarat takfir telah ada di dalam dirinya. Allahu a’lam
Inilah demokrasi, inilah hukumnya, hukum orang yang menyerukannya dan yang mengikutinya, apakah kau bersedia untuk meninggalkannya, apakah kau mau meninggalkannya?
Allahumma inni qod ballaghtu, fasyhad
Ya Allah, Sesungguhnya aku telah menyampaikan, maka saksikanlah
11-2-1999
Abdul Mun’m Musthofa Halimah, Abu Bashir
Sumber : blog Abah Zacky as-Samarani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar